SUARA INDONESIA BONDOWOSO

Kebijakan Pengembangan Panas Bumi Energi Geothermal di Indonesia, Berikut Fakta dan Sejarahnya

Haerul Anwar - 03 August 2022 | 10:08 - Dibaca 179 kali
Sejarah Kebijakan Pengembangan Panas Bumi Energi Geothermal di Indonesia, Berikut Fakta dan Sejarahnya
Salah satu energi panas bumi Geothermal (Foto Istimewa)

SUARA INDONESIA - Kebijakan pengembangan panas bumi di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua era.

Pertama, era sebelum kemerdekaan atau pra UU Nomor 27 Tahun 2003 dan kedua ialah era setelah diterbitkannya UU Nomor 27 Tahun 2003.

Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh pemerintah kebijakan publik Hermanto Rohman dalam acara diskusi publik bersama PC PMII Bondowoso yang membahas Geothermal di Bondowoso, Senin (1/8/2022).

Hermanto menjelaskan, Era Sebelum Kemerdekaan, bahwa pengembangan panas bumi berlangsung cukup intensif pada Tahun 1970-an dengan diterbitkannya Keppres Nomor 16 Tahun 1974.

" Keppres 16/1974 mengamanatkan kepada Pertamina untuk melaksanakan survei dan eksplorasi sumber daya panas bumi di Jawa dan Bali," imbuhnya.

Lebih lanjut Hermanto memaparkan, untuk wilayah luar Jawa dan Bali menjadi wewenang pemerintah yang diwakili oleh Direktorat Vulkanologi.

Survei dan eksplorasi dilakukan di pegunungan Kerinci Jambi dan Lahendong, Sulawesi Utara.

" Sedangkan, pada Tahun 1981 terbit kebijakan baru yakni Keppres Nomor 22 Tahun 1981, Permen Pertambangan dan Energi No. 10/P/M/MENTAMBEN/81, serta Keppres No 23 tahun 1981," terangnya.

Menurut Hermanto, lahirnya kebijakan tersebut membuat wewenang Pertamina kian kompleks, tidak terbatas hanya pada wilayah Jawa dan Bali.

Namun, Pertamina diberikan kuasa melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya panas bumi di seluruh Indonesia untuk membangkitkan energi listrik.

Energi listrik yang dihasilkan wajib dijual kepada PT PLN (Persero).

Tahun 1991, pemerintah kembali mengeluarkan Keppres, bahkan dua Keppres sekaligus.

Keduanya ialah Keppres No 45 Tahun 1991 sebagai penyempurnaan atas Keppres No 22 Tahun 1981 dan Keppres No 49 Tahun 1991 yang mencabut Keppres No 22 Tahun 1981.

Penyempurnaan keppres ini Kembali menguntungkan Pertamina. Pasalnya, Pertamina lebih bebas dalam memasarkan produk / hasil energi panas bumi.

Tidak hanya menjualnya kepada PT PLN (Persero), tetapi Pertamina juga diperbolehkan menjual hasil eksplorasinya kepada badan usaha nasional lain yang memiliki badan hukum termasuk koperasi.

Selain itu, keppres tersebut juga mengatur besaran pajak yang harus dibayarkan yakni sebesar 34 persen dari penghasilan bersih.

Lebih lanjut Hermanto menerangkan, energi panas bumi Geothermal di era sesudah Kemerdekaan.

Pasca kemerdekaan, dilakukan evaluasi yang menghasilkan kesimpulan bahwa pengusahaan / pengembangan energi panas bumi selama ini cenderung dimonopoli oleh Pertamina.

" Akhirnya pada Tahun 2000 terbitlah Keppres No 76 Tahun 2000 yang mencabut Keppres No 22 Tahun 1981 dan Keppres No 45 Tahun 1991," imbuhnya.

menurutnya, kebijakan yang lahir era reformasi ini memberikan hak yang sama kepada semua pelaku usaha energi panas bumi (geothermal) dengan kebijakan pajak yang sama pula.

Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Tepat pada Tahun 2003, DPR berhasil menyelesaikan UU No 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

Substansi UU ini adalah memberikan kewenangan, peran aktif, dan peluang lebih besar kepada daerah untuk dapat mengelola sendiri sumber daya panas bumi (aspek legislasi, perijinan, dan pengawasan).

Selanjutnya, DPR melakukan penyempurnaan aturan pada Tahun 2014 dengan menerbitkan UU No. 21 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU No. 27 Tahun 2003.

Poin penting perubahannya terdapat di dalam Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 6.

Pasal 5 Ayat 1 menyebutkan, penyelenggaraan usaha energi panas bumi dilakukan oleh pemerintah terhadap:

Pertama, panas bumi untuk pemanfaatan langsung yang berada pada: (1) lintas wilayah provinsi termasuk kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

(2) kawasan hutan konservasi, (3) kawasan konservasi di perairan, dan (4) wilayah laut lebih dari 12 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia.

Kedua, panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung yang berada di seluruh wilayah Indonesia, termasuk kawasan hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi, dan wilayah laut.

Kemudian Pasal 6 menyebutkan, kewenangan menyelenggarakan usaha panas bumi tersebut dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh menteri yang meliputi:

(1) pembuatan kebijakan nasional, (2) pengaturan di bidang panas bumi, (3) pemberian izin panas bumi, (4) pemberian izin pemanfaatan langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya, (5) pembinaan dan pengawasan, (6) pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi panas bumi inventarisasi, penyusunan neraca sumberdaya, dan cadangan panas bumi, (7) pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, dan/ atau pemanfaatan panas bumi; dan (8) pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan, dan kemampuan perekayasaan.

(Anwar/Rul)***

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Haerul Anwar
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya