BONDOWOSO - Hermanto Rohman, Pemerhati Kebijakan dan Tata kelola Pemerintahan Daerah, menyebutkan, Peraturan Daerah (Perda) Bondowoso Nomor 5 Tahun 2020, miskin keberpihakan dan sangat berbeda dengan daerah lainnya.
Menurut Hermanto, praktis perda tentang pembinaan dan penataan pasar rakyat, toko swalayan dan pusat perbelanjaan itu tidak mengusung sama sekali muatan lokal (keberpihakan) dari fakta yang terjadi di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
"Praktis perda ini tidak mengusung sama sekali muatan lokal (keberpihakan) dari fakta yang terjadi di Bondowoso. Maka tidak salah perda ini miskin keberpihakannya dan sangat berbeda dengan daerah lainnya," ujarnya pada media, Rabu (17/2/2020).
Lebih lanjut, Hermanto mempertanyakan ditetapkanya Perda No 5 tahun 2020 ini pada 17 Juli 2020 dibuat untuk apa dan siapa?.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNEJ ini menerangkan, sebenarnya mekanisme pembentukan Perda sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan.
"Salah satu yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh organ pembentuk perda adalah proses perencanaan, pada proses ini sangat membutuhkan kajian mendalam," terangnya.
Lebih lanjut, Hermanto menerangkan, pada Pasal 56 ayat (2) jo. Pasal 63 UU No 12 tahun 2011 disebutkan bahwa (perencanaan perda) melalui rancangan peraturan daerah, baik yang berasal dari DPRD dan kepala daerah harus disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
penjelasan atau keterangan atau naskah akademik ini harus ditinjau dari tiga aspek yaitu filosofis, sosiologis maupun yuridis.
Menurut Hermanto, atas dasar ketentuan tersebut ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan dari lahirnya perda Nomor 5 Tahun 2020 tersebut itu.
"Apakah dalam penyusunan Perda tersebut disertakan penjelasan dan keterangan melalui naskah akademik ?, Jika ini tidak terjawab maka akan berpeluang terjadinya polemik bahkan bisa terjadi cacat formil dalam pemberlakuan perda," ujarnya.
Dosen yang juga Koordinator Pusat Pemberdayaan Masyarakat LP2M UNEJ menegaskan, jika memang ada naskah akademiknya kata Hermanto, maka ada beberapa hal secara materiil perda ini yang perlu dikritisi.
"Jika dilihat dari konsiderannya perda ini dibuat dalam rangka untuk membangun keseimbangan dan sinergis serta saling menguntungkan di antara pelaku usaha (pasar rakyat, toko swalayan dan pusat perbelanjaan). Namun dalam pertanyaan publik sinergi dan keseimbangan yang menjadi dasar filosofis," ujarnya.
Dosen UNEJ dan juga Koordinator Divisi Pemberdayaan Masyarakat Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama PCNU Jember ini menyatakan, bahwa lahirnya perda ini justru tidak menemukan prakteknya selama ini di Bondowoso. Yang nampak justru menjamurnya toko swalayan dan dapat mematikan pasar kelontong dan pasar tradisional yang ada.
Bahkan, Menurut Hermanto, sinergis dan keseimbangan ini juga tidak dapat dibuktikan kepada publik bahwa pasar swalayan ini dapat mengangkat pelaku usaha/ pedagang kecil secara signifikan.
Akhirnya, menurut dia, tidak salah kalau publik mempersepsikan perda ini justru dibentuk atas filosofi menguntungkan pasar swalayan pelaku usaha menengah dan besar dengan semangat instan untuk menambah income daerah PAD yang itupun juga targetnya belum bisa diukur.
Dia menegaskan, dalam penyusunan perda ini juga belum ada penjelasan sosiologis yang melatar belakanginya. Salah satunya adalah pemangkasan zonasi dari 1000 meter menjadi 50 meter antara jarak pasar tradisional dengan pasar swalayan.
"Ini tidak ada pembuktian kajian nilai ekonomis kerakyatannya," cetusnya.
Dia menambahkan, kesan yang nampak pemangkasan zonasi jarak ini tidak lebih sebagai upaya melegalkan dan memberi peluang besar menjamurnya izin pasar swalayan atau ritel yang tidak terkontrol baik saat ini maupun dimasa yang akan datang.
"Maka jika ada kecurigaan publik bahwa pemangkasan zonasi ini tidak disertai dengan hitungan kajian ekonomi kerakyatan maupun juga kajian topografi wilayah sangat dimaklumi. Jika pun pemerintah berdalih ada kajiannya mestinya bisa menjelaskannya kepada publik," cetunya.
Dia menegaskan, perda ini lebih mendasarkan pada logika empiris dengan menurunkan ketentuan produk hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Pertokoan Modern, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 yang beberapa substansinya digugat keberpihakannya oleh publik.
salah satunya, lanjut Hermanto, adalah pengaturan mengenai jarak ideal pasar swalayan (modern) dengan pasar tradisional yang dilempar pada kewenangan daerah.
Parahnya kata Hermanto, lahirnya Perda Nomor 5 Tahun 2020 ini secara substansi ibarat puzzle yang sangat membingungkan.
"Isi aturan diatas ditata ulang dalam pasal per pasal di dalam perda dan disusun ulang tanpa argumen yang jelas, baik secara keekonomian rakyat, maupun topografis. Di mana pengaturan ini sebagai bagian yang tidak bertentangan atau mendukung konsep Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun Rencana Detail Tata Ruangnya (RDTR)," pungkas Dosen Muda FISIP UNEJ.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Bahrullah |
Editor | : |
Komentar & Reaksi